Thursday, 30 June 2016

Penyihir Cahaya (Chapter 3)





Chapter 3 : Rahasia Hati

Semilir sejuknya awan membawa ketenangan. Senandung burung nan merdu menambah syahdunya irama yang tercipta. Angin datang menampar wajahku karena hati yang tengah bergemuruh.
Ah aku lupa belum saatnya bunga sakura bersemi. Tapi aura keindahannya sudah terasa dijiwa. Menghadirkan segumpal sesak di dada, bagaimana aku bisa menyembunyikannya? Bahkan setiap jengkal aktifitasnya aku hapal di luar kepala. Sangat hapal, lihatlah! sekarang pukul 07.25 dia akan datang di sini. Sebentar lagi, iya sebentar lagi! Pasti akan keluar dari ruangan yang bernama 'mushola'. Tempat dia melakukan ritual ibadah di pagi hari.
"Itu dia..." Seru Arshad dalam hati. Semuanya tampak indah, baju lengan panjang berpadu kuning dan coklat terukir bunga yang berbaris rapi, rok panjang coklat menutupi kaki mungilnya, terlihat jelas tinggi tubuhnya sejajar dengan bahuku. Sapa lembut angin membuat hijab panjang dan lebarnya menari-nari di permukaan udara, seperti biasa dia terlihat "anggun". Mataku tak bisa jika tak menyapanya walau hanya sepersekian detik. Tak bisa ku pungkiri aku menyukai saat seperti ini meski hanya 3 menit itu sudah cukup menambah semangat pagiku. Aku tahu hatinya dengan malu-malu menggoda jiwaku "Ah ada Arshad lagi..". Segera kubuang pandangan mataku menjauh seolah aku tak mendengarnya dan segera melewati wanita ini dengan diiringi irama jantung yang bertalu-talu.
***
Terdengar suara langkah kaki mendekat. Aku tahu itu pasti dia, saat dia melewatiku dengan gagahnya aku akan berbisik dengan hati ini "Ah ada Arshad lagi..". Aku tahu dia tak akan mendengar hatiku yang menyukai kehadirannya. Dia tak pernah melihatku, dia selalu membuang pandangan jauh pada bunga-bunga yang ada di ujung sana. Sedangkan aku! Aku hanya menunduk dalam, mencoba senormal mungkin menyembunyikan hati yang sedang bergetar.
"Tidak.. Tidak sekebal itu dinding hatiku. Ya Rabb.." gumamku lirih masih dengan tatapan mata yang tak berani menatap kedepan.
***
Pertemuan tiga menit setiap paginya. Hanya tiga menit tapi mampu mencairkan hati tak tentu arah. Tiga menit tapi terasa begitu lama, menyebabkan perpisahan terjadi yang menyisahkan rindu. Pernahkah kau berjumpa dengan seseorang yang meski hanya sebentar tapi melekat di hati?. Meski tanpa aksara, mulut bak di gembok yang kehilangan kunci, kaki tetap melangkah tanpa berhenti walau sedetik, dan tubuh yang di bawa cuaca tidak mencari alasan untuk berbagi. "penjagaan yang tidak sempurna.." hardik Nafisha pada diri sendiri, sambil menyeka butiran bening yang diam-diam menetes pada kekuatan yang sesungguhnya kosong.
Arshad berlalu melewati Nafisha tanpa jeda. Pada belokan ujung jalan mereka sama-sama menggali memori itu kembali. Menerawang kenangan yang terjadi satu tahun lalu. Saat Arshad pergi ke atap gedung tertinggi kampus Tawazun, ketika hatinya yang lelah dan ingin merasakan kekuatan dari matahari. Mencoba menyingkap kain yang menutupi lambang cahayanya dikaki. Untung sisa kesadaran itu masih ada, setelah sekian lama berdiri diatas atap akhirnya Arshad menjatuhkan tubuhnya kelantai atap dan memilih tidur di sana.
Entah sejak kapan Nafisha ada disana, menyaksikan keraguan laki-laki yang tak di kenalnya. Nafisha yang mengira Arshad pingsan berlari kebawah mencari siapa saja untuk bisa membawa Arshad ke puskesmas Tawazun. Orang-orang yang membantu Nafisha mengatakan bahwa laki-laki itu hanya tertidur, kelegaan terpancar di wajah wanita lugu itu.
Keramaian membuat Arshad terbangun, mendengar cerita yang terjadi saat itu tak sadar membuatnya tertawa dan melihat gadis di depannyaa. Itu lah awal pertemuan dan perkenalan mereka. Bahkan Arshad sangat ingat, saat itu Nafisha mengenakan Jilbab lebar merah muda dan baju putih. Pertemuan itu biasa saja. Tapi lama-lama merebut asa. Mereka mulai tergoda. Dan hanyut pada tiap pertemuan meski suasana beku tanpa ada kata.
***
"Coba cari diperpustakaan bro" ujar Hafiz sahabat Arshad berprofesi dosen juga di Tawazun Center ini, mencoba memberi opsi pada Arshad karena merasa masih kurang sumber buku untuknya mengajar.
"Iya. Sepertinya aku harus keperpustakaan sekarang. kau ikut?" ajak Arshad sambil mengingat dua jam lagi dia harus mengajar.
"Sorry bro, sebentar lagi gue ada kelas" Hafiz memasukkan buku-buku ke dalam tasnya.
Mereka berpisah pada jalan yang berbeda Arshad menuju perpustakaan dan Hafiz menuju kelas sastra tempat dia mengajar. Saat memasuki perpustakaan. Tubuh Arshad bagai patung tak bernyawa, melihat ada sosok rahasia hatinya sedang duduk damai dimeja paling pinggir diperpustakaan tempat dia berpijak. Waktu yang mempertemukan kali ini, tanpa sepengetahuan, tanpa dirancang Arshad bisa menatap wanitanya yang kini sedang menulis sesuatu dibuku, ada banyak tumpukan buku di mejanya.
Tiba-tiba desiran angin datang menampar wajah Arshad, ia tersadar dan mulai mencari buku yang menjadi tujuannya. Tapi dua mata indah Arshad sekali-kali mencuri pandangan pada Nafisha. Mencoba mencari tahu apa yang ada di dalam hatinya. Tapi kosong. Perasaan campur aduk mulai datang kembali. Arshad benar-benar di buat kacau karena lagi-lagi sesuatu yang hebat terjadi di dalam hatinya. "Dalam satu waktu aku merasa kuat dan lemah sekaligus.." bisik Arshad sambil menatap rahasia hatinya yang masih asyik menulis tak menyadari kehadirannya.
Tiba-tiba Nafisha beranjak dari tempat duduknya, seperti dikejar-kejar waktu, terburu-buru keluar dari perpustakaan. Tapi ada satu yang terlupakan oleh Nafisha. Ada buku kecil yang tertinggal di mejanya. Arshad mendekati buku itu. Tulisan-tulisan dibuku itu membuat hatinya terhenyuk. Menyadarkannya, Membangunkan Arshad dari mimpi.
"Suara jam dinding makin jelas di telinga. Kertas putihku, sudah bosankah kau?. Aku terus bertanya pada buku kecil putih yang saat ini ku genggam. Ada banyak hal yang ingin ku ceritakan. Hingga pada akhirnya ku titipkan semua pada angin malam, namun apa lah daya pada akhirnya ia terburai ke arah yang tak menentu. Resah masih saja menempati satu bilik di sudut ruang hatiku. Hatiku bergumam lagi "duhai kau yang jauh puluhan kilometer nun jauh di sana samakah yang kita rasakan?". Ah aku lupa, curhat terbaik harusnya pada yang Maha Kuasa."
-wahai yang menepati hatiku, diatas atap waktu itu-
Arshad membuka lembaran lainnya.
"Andai hati ini bisa ku atur. Maka akan kuatur ia untuk bisa berhenti bergetar olehmu. Namun sayangnya ia adalah rasa yang tak bisa aku perintah. Menjelma pada dinding qalbu. Merasuk kedalam jiwa. Mencambuk diri. Menyiksa hati. Sesukanya saja datang tanpa diminta. Sesukanya saja merindukan pertemuan denganmu. Ah.. Aku bahkan lelah membujuk jantung ku agar berhenti berdegup kencang setiap kali bertemu denganmu. Ah... Andai rindu ini bisa ku atur. Hei hujan, kenapa kau tak datang? Mengalirkan rasa yang seharusnya tidak kusuburkan. Karena hakikat Cinta, adalah sepenuhnya Rahasia punya Dia, bukan punyaku!"
-Kau takdir yang kutemui disetiap Pagi Hariku-
Arshad membuka kembali lembaran lainnya,
"Senja tadi kembali merambati hari. Memupuk malam pergeseran waktu. Wahai diri sadarlah, tak ada yang perlu diperjuangkan karena aku dan dia belumlah halal. Bahkan mungkin tidak akan pernah halal. Karena dia dan aku bukanlah Ali dan Fatimah, bukan pula Zulaikha dan Yusuf yang ceritanya harum sepanjang sejarah. Wahai langit, ajarkan aku keridho-han pada setiap keputusanMu.."
-Kau yang tak boleh berlarut di kerajaan hatiku-
Semua tulisan di buku putih yang kini di tangan Arshad menyadarkan dia akan banyak hal. "Kau benar kita tak akan pernah bersatu, karena aku adalah penyihir dan kau manusia biasa..." gumam Arshad sambil menutup buku kecil milik Nafisha, di kembalikannya lagi buku itu pada tempat semula. Arshad memilih pergi dari perpustakaan setelah buku yang di carinya ketemu. "Sepertinya aku harus membuat ramuan yang bisa menghapus ingatan seseorang. Aku harus menghapus kau dari ingatanku.." ujar Arshad sambil melangkahkan kaki menuju kelas sastra tempatnya mengajar.
***
"Hafiz, kau tahu kisah tentang Ali - Fatimah dan Yusuf-Zulaikha?" tanya Arshad pada Hafiz ketika akan absen sore di rektorat Tawazun.
"Kau tidak tahu kisah mereka? Sungguh keterlaluan kau ini bro. Kisah artis selebriti kau paham. Tapi kisah teladan kau tak tahu" Hafiz terkekeh menggoda Arshad.
"Baiklah aku akan cari tahu sendiri!" Arshad berlalu kearah luar setelah selesai absen sore.
"Sudah macam anak gadis saja kau ini bro, ngambek-ngambek segala aku tak punya coklat" Hafiz makin terkekeh menggoda Arshad. "Lihatlah tingkahmu itu. Persis seperti gadis remaja yang cabe-cabean tidak dibelikan hp baru" Hafiz tertawa geli melihat tingkah Arshad yang tak suka digoda.
"Tutup mulutmu atau kusumpal pakai ini" ujar Arshad sambil menunjukkan buku yang sudah digulung-gulungnya ditangan.
"Ancaman mu itu.. iiihhh dedek takut bang hahaha" tawa Hafiz makin menjadi, membuat Arshad berjalan menuju Hafiz siap menaruh gulungan yang ia siapkan kedalam mulut hafiz.
"Baiklah.. baiklah akan kuceritakan, kita duduk dibangku sana" Hafiz mulai mengajak Arshad sebelum yang diancam Arshad benar-benar terjadi.
"Namanya Ali bin Abi thalib." Hafiz memulai cerita yang dipinta Arshad
***
"Hari itu Ali tengah gusar. Ada banyak pertanyaan menggantung dikepala Ali, ketika dia dengar bahwa cintanya sedang dilamar oleh orang yang derajatnya jauh lebih tinggi dari Ali, pria yang datang melamar itu pria baik dan kaya bahkan ayahanda wanita itu sangat kenal betapa pria itu akan menjadi laki-laki yang harum namanya dalam sejarah, tak akan pernah menyesal ia menikahkan anak perempuannya pada pria itu. Dia adalah Abu Bakar As-Siddiq."
"Tak akan mungkin di tolak lamaran itu.." ujar Ali putus asa mengingat betapa sempurnanya pria yang datang melamar. Sambil mencoba membunuh perasaan yang sudah bertahun-tahun ia pendam, tak terhitung hari betapa Ali terus menyumpal mulutnya agar tetap diam sampai akan datangnya hari dimana sejarah akad dan cintanya tertunaikan. "Sungguh pria yang sedang dirumah itu bukan kaya yang jadi utama, tapi keimanannya bahkan malaikatpun mendoakan dia. Semua Sahabat cemburu dengan kebaikan yang dimilikinya. Lalu aku? Tak ada..." nada Ali prustasi.
"Ditolak.. Ternyata ditolak.." kabar burung itu sampailah ke telinga Ali, "hah? Pria sempurna begitu ditolak apa lagi aku?" cabik Ali pada dirinya sendiri setelah ia tahu lamaran pria yang "sempurna" itu ditolak oleh ayahanda yang mulia."
Hafiz diam sejenak menarik napas panjang, dan Arshad masih membisu. Menunggu kelanjutan cerita selanjutnya
"Ali belum selesai mengumpulkan kembali semangatnya yang sempat dibuang, memungut kepingan-kepingan cinta yang sebenarnya masih sangat kuat magnet itu untuk menyatu. Tapi, Tiba-tiba ia dengar pria lain yang tak kalah tinggi derajatnya dari pria pertama datang juga malamar cintanya. Ali makin ciut, siapa yang tak kenal pria yang kedua itu? Bahkan setanpu takut padanya. Dulu saat semua orang sembunyi-sembunyi hijrah, pria itu bahkan terang-terangan mengatakan siapa yang berani menentang maka harus melawannya saat itu juga. Semua orang bungkam dengan keberanian pria kedua itu, dan sungguh cintanya akan hidup bahagia dengan pria berkuasa dan kuat seperti itu karena Dia adalah Umar bin Khatab.
Saat itu pun Ali mencoba mengikhlaskan cintanya lagi padahal separuh hatinya berkata tak rela, dapatlah Ali kabar bahwa lamaran pria kedua itu juga ditolak. Sungguh Ali bingung menantu idaman seperti apa yang diinginkan ayah yang mulia itu?. Ali jadi ragu, tapi sepenuhnya hati Ali membujuknya untuk maju. Jika tidak cintanya kali ini akan benar-benar pergi, dan mungkin juga tak akan kembali.
Maka, sekuat hati dengan modal cuma baju perang Ali melamar wanita yang selama ini dicintainya dalam diam. Begitu rapat Ali menyimpan perasaan itu bahkan setanpun tak tahu bahwa dari dulu sejak mereka berteman dari kecil hati Ali sudah sepenuhnya milik Fatimah, yang ternyata ayahanda yang Mulia menerima lamaran Ali dengan mengucapkan "selamat datang di kehidupan kami..". Sungguh haru Fatimah menyaksikan itu, betapa tidak laki-laki yang juga diam-diam dia cintai kini sudah ada di hadapannya sebagai seorang suami.
Begitulah sejarah mencatat betapa mulianya Ali dan Fatimah dalam menangani cinta. Hingga langit tersenyum dan menyatukan mereka dalam sebuah pernikahan"
Hafiz selesai menceritakan kisah Ali dan Fatimah membuat Arshad paham sepenuhnya apa yang dimaksud Nafisha dibuku putih kecil tadi.
"Kalau kisah Yusuf dan Zulaikha akan kujelaskan singkat saja. Zulaikha tergila-gila pada Yusuf, kau tahu karena apa Arshad?". Arshad hanya diam tak menanggapi.
"Karena ketampanan Yusuf yang membuat wanita-wanita lupa kalau mereka tengah mengiris buah, tapi karena terpesona mereka jadi mengiris jari mereka sendiri. Bukan Yusuf yang salah karena terlahir tampan, tapi wanita itulah yang tak pandai menjaga pandangan. Memang benar kata orang bahwa mata adalah jendela dunia, karena apa yang dilihat akan melekat di otak, sehingga membuat teringat-ingat kembali karena sudah terekam dengan jelas.
Singkat cerita Zulaikha mengurung dirinya bersama Yusuf di dalam kamar, Zulaikha merayu Yusuf untuk bercinta dengannya. Tapi Yusuf sepenuhnya menolak, tak habis akal Zulaikha bahkan merobek sendiri pakaian yang tengah dipakainya agar Yusuf tergoda. Tapi, dengan teguh Yusuf tetap menolak dan menjaga dirinya dari perbuatan yang tidak beradab itu. Sampai mereka tertangkap dan Yusuf dipenjara karena di fitnah.
Setelah kejadian itu Zulaikha sadar bahwa dia salah, dia bahkan malu bertemu dengan Yusuf. Sedikit demi sedikit Zulaikha mulai memperbaiki diri. Dan saat itulah, ketika Zulaikha menggoda yusuf, Yusuf kuat dan menolak dengan mentah ajakan Zulaikha tapi, ketika Zulaikha memperbaiki diri. Tuhan buat Yusuf datang melamar Zulaikha"
Mata Hafiz menerawang jauh kedepan entah apa yang dipikirkannya. Arshad diam seribu bahasa, bayangan Nafisha datang menembus pikirannya menyayat hati yang sungguh dia tahu bahwa mereka bukan Ali-fatimah, mereka juga bukan Yusuf-Zulaikha. Dia hanya seorang penyihir dari angkasa dan Nafisha manusia biasa yang hanya bisa menerka-nerka siapakah jodohnya.
"Lalu kenapa harus dipertemukan?" pikirnya dengan protes.
"Kak Arshaaad.." suara lantang Aurora mengejutkan Arshad dan Hafiz. Arshad baru ingat Aurora tadi chat BBM bahwa dia akan pulang sore karena belajar kelompok persiapan UAS dua bulan lagi, jadi Aurora minta pulang barsama. Arshad bilang dia akan tunggu di rektorat.
"Bro gue duluan ya" Hafiz berlalu menuju parkiran mobil miliknya.
"Ayo kita pulang" ajak Arshad pada Aurora menuju parkiran. Mereka masuk mobil dan mulai pergi meninggalkan Tawazun Center.
"Kak.. Kata bu guruku. Tak ada yang kebetulan di dunia ini, seperti pertemuan dengan siapapun itu adalah takdir. Tuhan mempertemukan pasti ada satu alasan. Entah untuk belajar atau mengajarkan. Entah untuk sesaat atau selamanya. Entah untuk menjadi bagian terpenting atau sekedarnya. Tapi meski begitu tetaplah jadi yang terbaik semampu yang kita bisa. Lakukan segala hal dengan tulus meski tak tahu ujungnya seperti apa. Dan bu guru itu adalah bu Nafisha" Aurora mengatakan sambil tersenyum sedikit menggoda karena dia bisa melihat semua yang dipikirkan kakaknya yang saat ini sedang mengemudi mobil.
Ah ya, Nafisha adalah guru SMA di tempat Aurora sekolah, dia mengajar bahasa Indonesia. Arshad hanya diam. 'Sial.. Aurora pasti sudah melihat semuanya' keluh Arshad mengingat kekuatan yang dimiliki Aurora.
Saat ini mereka sudah sampai dirumah. Bagas sudah menyiapkan makan malam untuk semua. Selesai mandi mereka semua berkumpul untuk makan. Ditengah makan seberkas kisah pertemuan Arshad dengan Nafisha hadir lagi di kepala Arshad: Awal Pertemuan, tiap pagi berjumpa, sampai isi buku kecil putih yang ia baca dan ucapan Aurora tadi dalam mobil. Gemericik galau tiba-tiba menjelma, resah menelusup hampir pada setiap dinding jiwa Arshad.
'Ya.. Ini takdir yang salah..' pikir Arshad sambil mengunyah makanannya. Tapi disebrang tempat Arshad, dimeja makan yang sama, Aurora sedang tersenyum tulus melihat semua yang dipikirkan kakak tertuanya.
'Ada yang pura-pura mengabaikan padahal dia sangat tahu. Ada yang menunduk sangat dalam agar tidak menambah sesuatu yang bergetar di dalam hatinya. Ada yang lebih memilih melihat dari dalam mobil dengan kaca hitam, melihat di luar, tanpa yang diluar tahu kalau dia tengah diperhatikan. Ada yang bahkan susah payah mengelabui perasaannya, agar tidak merusak skenario yang sedang langit Rancang. Karena sadarlah wahai hati, sutradara terbaik adalah Dia yang menciptakan kita. Bukan mata yang hanya bisa melihat dari sisi luar saja.' -Aurora-
***
"Bagas tolong ambilkan air putih" pinta paman pada kak Bagas yang duduknya paling dekat dengan lemari es. Tapi tak ada jawaban dari kak Bagas.
"Kenapa kekuatan kak Bagas sering sekali muncul saat sedang makan malam?" keluh kak Berto orang pertama sadar kalau kak Bagas menghilang. Sontak semua mata tertuju pada bangku yang di duduki kak Bagas tadi. Kak Bagas benar-benar menghilang entah dimana.
"Berto coba kau telpon Bagas. Kasihan dia baru makan sedikit" pinta tante Risa. Sigap kak Berto mengambil handponenya di saku. Terdengar melodi handpone kak Bagas dari ruang tamu.
"Aduh gimana ni kak Bagas gak bawa hp?" ujar Aurora menemukan hp Bagas di kursi ruang tamu.
***
Lalu dimanakah Bagas berada? Yuuk tunggu kisah selanjutnya :D
Ayana sengaja nulis kisah kedua ini gak tentang kasus atau teka-teki seperti kisah pertama, cz mau buat Penyihir Cahaya itu gak bertema satu hal saja tapi kalau bisa semua unsur kehidupan ada mulai dari kasus pembunuhan, percintaan, masalalu, dan yang lainnya :D semoga pembaca tetap suka yaa ;) ditunggu ni vote dan komentarnya yaak :D

No comments: