Thursday 30 June 2016

Penyihir Cahaya (Chapter 1)



Chapter 1 : Penyihir Itu Ada 

Aku dan kakak-kakakku adalah penyihir yang tinggal di bumi, lebih tepatnya di titipkan ayah dan ibuku dibumi kepada teman baik mereka paman Reza dan tante Risa. Dengan dalil bahwa bintang Andromeda yang kami tinggali sedang tidak aman karena penyihir Moris ingin menghisap kekuatan yang kami miliki. Tiga tahun yang lalu Tanpa ba-bi-bu ayah dan ibu langsung mengantarkan kami ke planet bumi, jadi tinggal-lah kami disini hidup bersama manusia yang tidak pernah percaya bahwa penyihir itu ada. Paman Reza dan Tante Risa yang merupakan teman ayah dan ibu menerima kami dengan hangat, kehadiran kami berempat bagaikan obat kerinduan mereka yang menginginkan anak di rumah ini.
Kami sekeluarga adalah penyihir cahaya. Dibagian tubuh kami terdapat lambang cahaya yang jika terkena sinar matahari maka lambang itu akan bersinar terang dan menambah daya tubuh kami menjadi lebih kuat. Tapi dibumi meski matahari menyinari selama 12 jam, kami tidak boleh menyerap cahaya itu, karena jika kami melakukannya maka lambang cahaya itu akan bersinar terang dan menarik perhatian semua manusia. Apabila mereka mengetahui kami adalah penyihir kata paman entahlah apa yang akan mereka lakukan, mungkin mereka akan menangkap dan memusnahkan kami karena takut kami akan menindas mereka dengan kekuatan yang kami miliki. Ah.. sungguh makhluk bernama manusia di luar pengetahuan kami.
Setelah mulai siap dengan semua perlengkapan sekolahku, ku langkahkan kaki menuju dapur. Disana sudah ada kak Arshad sedang duduk mantap didepan meja makan untuk sarapan pagi, dia menatapku dengan kaca mata yang selalu menemani kesehariannya. Sadar keberadaanku semakin dekat, kak Arshad menampakkan senyumannya padaku, seperti itulah cara dia menyapaku tiap pagi. Begitulah dia. Kakak pertamaku Raka Arshad Shagufta yang kupanggil kak Arshad pembawaan tenang dan dingin, segala sesuatu yang dikerjakannya terlebih dulu dipikirkan dengan baik, dia terlihat bijaksana di mataku. Kak Arshad sekarang berprofesi sebagai dosen di Kampus Tawazun.
"Aurora.. Tolong letakkan buah-buahan ini diatas meja" ujar kak bagas yang sedang membantu tante Risa menyiapkan sarapan. Dengan cepat kulakukan perintahnya. Dia adalah kak Adibrata Arka Bagaskara. Kakak keduaku yang berhati lembut. Mudah iba pada orang lain, lebih mementingkan orang lain dari pada diri sendiri, penyayang pada siapa saja yang ditemuinya (untung dia belum pernah bertemu dengan penyihir Moris, bisa-bisa dia orang pertama yang ditangkapnya), dan yang membuatku betah dekat-dekat dengannya adalah dia tempat curhat yang baik. Kak Bagas memiliki seribu nasihat untuk bisa membuat hati kita menjadi lebih tenang. Dengan kepribadiannya yang beginilah membuat tante Risa memasukkanya ke kampus Tawazun dengan jurusan Psikologi Islam. Kak Bagas sekarang sedang duduk di semester akhir menyusun skripsi. Penelitian skripsinya inilah membuat dia makin menyayangi banyak orang, bagaimana tidak? Karena dia terjun langsung kelapangan menemui Dokter dan pasien yang terganggu psikologinya.
"Aku sudah telat. Aku duluan ya. Tante aku pergi" kak Berto muncul tiba-tiba dengan rambut yang masih basah belum di keringkannya. Biasa kalau kak Berto ada jam kuliah pagi sering sekali terlambat. Ah kakakku yang terakhir ini orang yang spontan, ceroboh, tapi periang, seru, humoris, ekspresif, dan paling bisa menghidupkan suasana. Mahasiswa semeter 2 jurusan Sistem informasi. Kak Berto laki-laki yang berkharisma dia memiliki postur tubuh yang bidang, badannya tinggi dan pandai berkelahi. Dia adalah Kakak tertampanku meski kadang cerobohnya membuatku menggeleng-gelengkan kepala.
Dan aku sibungsu, namaku Atma Aurora Asmaraloka. Aku sekarang Sekolah Menengah Atas di sekolah Tawazun kelas 2. Yap tempatnya sama dengan tempat kakak-kakakku menimba ilmu dan mencari rezeki.
Meski keseharian kami seperti manusia tapi kami tetaplah penyihir. Tapi sayangnya karena suhu di bumi berbeda dengan suhu di bintang Andromeda, membuat kekuatan kami banyak menghilang hanya tinggal beberapa saja. Sehingga kekuatan yang tersisa didiri kak Arshad adalah dia bisa mendengar kata hati orang yang dia inginkan. Jadi, kalau sedang dekat dengan kak Arshad aku tidak akan berbicara di dalam hati yang aneh agar tidak memancing dia untuk menyelidiki, karena kekuatannya itu bisa membokar rahasiaku.
Sedangkan kekuatan kak Bagas, kau tahu sungguh unik dan langkah karena kekuatannya ini tak bisa di kendalikan oleh dirinya sendiri bahkan munculnya tiba-tiba tanpa diminta, yaitu dia akan menghilang dan berganti posisi dalam sekejap mata tanpa kami tahu dia berada dimana. Terakhir kali kak Bagas menghilang saat kami sedang makan malam, untung handpone-nya selalu dibawa, saat ditelepon ternyata dia menghilang ke rumah kosong belakang gedung fakultas Tarbiyah kampus Tawazun. Sungguh menyeramkan. Kalau menghilangnya ke atas gunung saat sunset matahari terbit sii aku mau hehe.
Oh ya, kalau kekuatan kak Berto lebih menyeramkan dari pada kak Bagas dan aku bersyukur tidak terlahir memiliki kekuatan seperti dia. Kak Berto bisa menerawang alias bisa melihat hantu. Entahlah.. Di bintang Andromeda tempat kami tinggal dulu tidak pernah ada hantu, tapi kata kak Berto di bumi banyak sekali hantu bergentayangan dan wajah mereka menyeramkan. iiih aku kadang merinding jika dekat dengan kak Berto karena katanya hantu-hantu itu sering mengikutinya.
Dan aku tentu juga memiliki kekuatan yaitu bisa melihat apa yang sedang orang lain pikirkan. Karena kekuatanku inilah aku bisa tahu apa yang akan orang lain lakukan.
Ada yang beda antara aku dan kakak-kakakku. Apa? Yaitu lambang cahaya. Kami memiliki lambang cahaya di bagian tubuh kami pada tempat yang berbeda-beda. Lambang cahaya itu berbentuk matahari. Kak Arshad lambang cahayanya di kaki. Kak Bagas memiliki gambar matahari di bahu. Sementara kak Berto lambang cahayanya di telapak tangan. Sedangkan aku di tungkuk leher sehingga jika terkena sinar matahari rambutku bercahaya. Lambang cahaya ini adalah identitas penyihir di bintang Andromeda. Harus disembunyikan karena selain agar tidak tahu diketahui oleh manusia, kami juga harus bersembunyi dari penyihir Moris. Sehingga kakak-kakakku selalu menggunakan pakaian dan celana panjang agar lambang cahaya itu tidak terkena sinar matahari sehingga kaki, tangan dan bahu mereka tidak bercahaya. Tapi diriku? Karena lambang cahaya ini bisa membuat rambutku bersinar apa yang harus ku lakukan? Beruntungnya aku dititipkan pada bibi Risa. Sehingga dengan cepat dia memiliki solusinya, yaitu jilbab. Selama tinggal dibumi aku akan memakai jilbab yang tebal sehingga matahari tak bisa menembus lambang cahaya yang ada di tungku leherku. Jilbab itu pun panjang karena rambutku panjang sepunggung. Itu lah alasan bibi Risa memasukkan kami di kawasan kampus Tawazun center.
Tawazun Center adalah nama sekolah swasta yang kental dengan nilai religinya. Mulai dari PAUD, TK, SD, SMP, SMA, SMK, sampai Universitas tempat murid, siswa dan mahasiswanya menimba ilmu pada satu tempat kawasan. Sekolah yang berstandar internasional dengan kurikulum dan mengedepankan akhlak paling utama ini menjadi favorit bagi orang tua. Karena menanamkan nilai relegi sejak dini merupakan pondasi utama bagi generasi bangsa. Semua perempuan disini di wajibkan memakai jilbab sehingga aku tidak tampak aneh karena selain bersinar terang, warna rambutku akan berubah menjadi ungu jika terkena sinar matahari.
Setelah tante Risa dan kak Bagas selesai menyiapkan sarapan. Kami bersiap untuk menyantap buah-buahan di meja. "Aurora tante minta tolong ya? Nanti sebelum kamu ke sekolah, tolong mampir dulu ke kantor paman. Ada berkas yang ditinggalkannya tadi pagi, Sekaligus tolong berikan makanan yang sudah tante siapkan untuk makan siangnya " ujar tante Risa sambil menunjuk rantang makanan di atas meja makan kami.
"Baiklah tante" ujarku sambil menyeduh susu coklat yang hangat.
"Tapi ada apa tante sampai paman pergi kekantor pagi-pagi sekali?" tanyaku penasaran.
"Katanya tadi jam setengah enam ada yang melapor terjadi pembunuhan, makanya paman berangkat pagi-pagi sekali sampai belum sempat sarapan" bibi mencoba menjelaskan
"Semoga pembunuhnya tertangkap ya tante. Kejam sekali pagi-pagi sudah membunuh" ujarku merespon penjelasan tante Risa.
"Kabarnya pembunuhan itu terjadi malam hari tapi baru diketahui pagi ini. Iya semoga saja kasus ini cepat selesai agar paman bisa pulang kerumah. Kalian tahu sendirikan Paman itu jika sibuk memecahkan kasus bisa-bisa satu bulan tidak pulang kerumah." nada tante Risa terdengar setengah sedih.
"Aurora nanti kamu naik taksi aja ya karena kakak mengajar pagi hari ini" ujar kak Arshad pertanda bahwa dia tidak bisa mengantarku ke kantor paman. Akupun memasang wajah cemberut, tak memberikan jawaban apa-apa.
"Mau kakak temani kekantor paman?" tanya kak Bagas sambil memicingkan mata kanannya padaku.
"Kakak tak ada kuliah?" tanyaku sumringah
"Eh kakak lupa dik, kakak sudah janji dengan dokter Arnold ketemuan pagi ini. Gimana ya?" tanyanya jadi bingung.
"Ya sudah aurora naik taksi sendiri saja. Tidak apa-apa kak" ucapku sambil tersenyum tulus
Usai sarapan kami bersiap untuk berangkat. Ternyata taksi yang di telpon kak Bagas sudah didepan rumah. Setelah pamit aku segera masuk taksi dan mengatakan tujuan pada bapak sopir.
Oh ya aku lupa menceritakan pamanku. Dia adalah sahabat kedua orangtuaku, yang ku tahu ibu dan ayah juga pernah bersembunyi dibumi dengan tinggal di rumah paman Reza. Itulah awal persahabatan mereka. Paman Reza bekerja sebagai detektif, dan tante Risa sebagai guru di sekolah Tawazun. Sekarang ini aku sedang dalam perjalan menuju kantor paman yang lumayan menguras waktu.
34 menit sudah berlalu perjalanan taksi yang kutumpangi menyusuri jalan raya dengan lampu merah 3x kali sudah kami lewati. Tibalah di kantor paman, aku minta bapak sopir untuk menunggu sampai urusanku selesai. Akupun turun sambil membawa amplop coklat dan rantang makanan. Aku mulai memasuki kantor polisi tempat pamanku bekerja, kupandangi satu-persatu sungguh semua polisi dan detektif sibuk dengan urusannya masing-masing. Ada yang menghadap komputer dan mengetik sesuatu. Ada yang sibuk dengan tumpukan kertas dan mencoret-coret pada buku yang di pegangnya. Ada yang berjalan wara-wiri dari satu ruangan ke ruangan lain. Kepalaku bergerak ke kanan dan kiri mencari sosok paman di tempat yang tampak asing ini. Ternyata paman di sana di meja nomor dua dari sudut belakang, aku mulai berjalan menujunya. Tapi tampaknya paman sedang sibuk karena didepannya ada seorang wanita yang tampak dewasa dan laki-laki yang sepantaran denganku. Semakin aku mendekati meja paman terdengar suara laki-laki yang sedang berwajah marah dan khawatir berbicara sedikit membentak pada paman Reza.
"Tidak mungkin kakakku yang melakukannya. Bapak harus mencari bukti lain" ujar laki-laki itu dengan nada keras, membela mati-matian kakak perempuannya yang saat ini sedang duduk terdiam disampingnya.
"Bagaimana tidak mungkin? Semua bukti sidik jari mengarah pada kakakmu. Bahkan dia sendiri mengakuinya. Kalau kau ingin menemani kakakmu diam saja, kalau tidak,, akan kuseret kau keluar!" pamanku tak kalah kerasnya. Paman belum menyadari kehadiranku disana.
"Kita lanjutkan lagi introgasinya, nona Luis Apa benar semalam kau melakukan pembunuhan berencana dengan menusuk sahabatmu sendiri menggunakan pisau ini?" paman mulai mengintrogasi lagi, wanita itu sambil menatap dinginnya lantai dan hanya mengangguk pelan tak bersuara sedikitpun, membenarkan pertanyaan yang di ajukan paman padanya. Tapi semua itu berbeda dengan yang kulihat. Dengan kekuatanku aku melihat apa yang sedang dipikirkan wanita itu, dia sedang membuat kue dan memasak semalam. Setelah itu dia pulang kerumah dengan wajah yang ceria. Dia tidak melakukan pembunuhan apapun. Tapi kenapa dia mengiyakan pertanyaan paman.
Paman yang menyadari kehadiranku pun menyapa dan menghampiriku. "Aurora? Kenapa disini? Bukannya kau harus pergi kesekolah?" ujar paman dengan wajah yang bingung.
"Aku mau mengantarkan makanan ini dan beberapa berkas paman yang tertinggal dirumah" kataku sambil menyerahkan amplop coklat dan rantang makanan. Dengan segera paman mengambil barang yang kuberikan untuknya. Saat paman hendak kembali ke meja mengintrogasi lagi. Akupun menghentikannya
"Paman tunggu.." Ia lalu menoleh lagi padaku. "Laki-laki itu benar, bukan perempuan itu yang melakukan pembunuhan nya, itu adalah pisau yang digunakan wanita itu saat memasak tadi malam. Dia hanya membuat kue lalu pulang" jelasku pada paman karena dia tahu aku memiliki kekuatan bisa melihat apa yang sedang orang lain pikirkan.
"benarkah.?" Tanyanya terkejut dengan penjelasan aurora. "Tapi bagaimana lagi? Dia sendiri sudah mengakuinya. Bahkan motifnyapun sudah jelas kata kedua orang tua laki-laki itu Luis membunuh sahabatnya Hadi karena cemburu Hadi akan menikah dengan wanita yang dijodohkan padanya dan Luis mengangguk saat ditanya seperti itu" ujar paman Reza bingung dengan penyataanku yang berbeda dengan faktanya.
Tiba-tiba laki-laki tadi langsung menghampiri kami. "Bapak detektif kau dengarkan apa katanya? Kakakku tidak membunuh kak Hadi. Itu tidak mungkin. " ucapnya menoleh ke paman. "Dari mana kau tahu kakakku semalam memasak? Kau menyaksikannya? Jelaskan semuanya pada pamanmu" ujarnya menatap padaku seakan meminta pembelaan dariku
Aku dan paman saling berpandangan bingung. Tidak mungkin menjelaskan bahwa aku adalah seorang penyihir yang memiliki kekuatan bisa melihat apa yang sedang orang lain pikirkan. Jika itu kulakukan hancurlah diriku.
"Aaah... Aurora cuma mengira saja, sudahlah jangan kau ganggu keponakanku. Aurora pergilah kesekolah" ujar paman membantuku melarikan diri dari situasi ini. Akupun berbalik arah dan mulai berjalan dengan cepat keluar ruangan ini. Tapi laki-laki itu dengan cepat mengikutiku.
"Kumohon jelaskan apa yang kau ketahui pada detektif itu, tidak mungkin kakakku melakukannya. Aku tidak ingin dia tersiksa lagi" katanya sambil mengejarku. Tapi kakiku makin cepat berjalan.
"Aku tadi cuma asal saja bicara" jawabku mengeles. Sampai laki-laki itu menarik bajuku dan kakiku pun terhenti, badanku memutar kebelakang menghadap padanya.
"Aku tahu kau tadi tidak asal bicara. Ku mohon bantu kakakku. Aku sangat menyayanginya" ujarnya dengan nada memohon. Sungguh aku sangat iba melihat wajahnya yang sedih dengan nada yang memilukan, tapi tidak mungkin aku menjadi saksi di sidang atau semacamnya karena aku tidak pernah melihat langsung apa yang dilakukan kakaknya semalam. Aku hanya melihat yang sedang dipikirkannya saat itu saja.
***

No comments: