Thursday 10 November 2016

Terimakasih Saudariku..:)

Entah apa itu nyaman?. Tapi yang pasti saat sudah bersamamu aku tak mau beranjak. "Tak ada yang tak pantas, kecuali Allaah yang menentukan" ujarmu kala itu membuat genangan air mengambang dimataku.

"Saat akhir bulan desember, waktu itu matahari mulai disapu dari langit.." kau mulai bercerita. Tatapanmu sungguh berbeda. Menerawang jauh kemasa silam. Tentang kisah indah yang pernah kau lewati bersama sahabat. Seorang sahabat seperjuangan. Kalian sudah malang-melintang ke nasional dikirim mewakili kampus kita. Aku duduk dihadapanmu. Mendengarkan ceritamu adalah hal yang kusuka. Kadang aku tak bisa lagi berkata-kata, hanya mampu mengusap hujan dari mata. Sungguh, kau adalah warna yang berbeda.

Kau mulai bercerita kembali.
"Hujan gerimis membasahi jalanan. Kami baru sudah selesai menjalani mata kuliah. Terdengar gema adzan ashar. Kami memutuskan berlari-lari kecil menuju tempat peribadatan". Aku menatap lekat bola matamu dibalik kaca ajaib itu. Sepasang kaca yang selalu kau pakai kemana-mana. Kaca ajaib yang kau pakai untuk mata itu, sebenarnya sudah cukup menjadi saksi. Bahwa hampir seluruh hidupmu tak lepas dari membaca dan menulis. Bahkan dari sekolah dasar, kau suka membersihkan perpustakaan. Eh salah, bukan dari seragam putih-merah tapi dari sejak kecil. Ya sejak kecil, kau sudah mengkonsumsi dongeng luar negeri. Sungguh berbeda dengan aku kecil yang lebih suka bermain dilapangan dan banyaklah menghabiskan waktu disana, dari pada menatap buku lama-lama. 

"Setelah sampai di masjid kampus aku berkata dengannya; 'hari ini kita berlari-lari sholat ashar di masjid kampus. Semoga nanti satu hari kita lari-lari sholat ashar di negeri lain'. Itulah yang aku katakan. Lalu, ia hanya mengaminkan". Ujarmu terdiam sesaat. Jilbab ungu langsungan yang kau kenakan saat itu, mengambang di udara bersamaan dengan terpaan angin. Pagi menjelang siang ini, udara sangat mendukung untuk kita berlama-lama duduk bersama. Atap yang teduh diatas kita saat itu dengan senang hati berada disana. Menghalangi sinar matahari yang sebentar lagi akan mulai memanas. Seolah mengatakan, 'hei selesaikan ceritanya'. Karena aku juga mulai mengerutkan kening penasaran dengan akhir kisahmu. 

"Tiga bulan setelah itu..." jari mungilmu mulai menyentuh telapak tanganku. Menggenggam hangat seolah ingin meyakinkan sesuatu. Kau mulai menyilangkan kaki, mengganti posisi duduk untuk lebih nyaman. Hingga penekanan intonasimu sangat kurasakan. "Cepat sekali Allaah menjawab semuanya. Tiga bulan setelah itu, kami berlari-lari kecil menuju masjid terdekat. Dengan suasana yang sama gerimis menemani. Dengan waktu yang sama juga yaitu saat kumandang ashar mulai memanggil. Hanya saja tempatnya berbeda, kami berada di masjid Malaysia". Binar matamu dapat kulihat dengan jelas. Senyum merekah di rona pipimu memberi magnet untukku tersenyum pula. Kita tampak hanyut hanya berdua. Tak menghiraukan mereka yang berada disekitar. Bahkan dulu, ketika kita menjadi panitia disatu acara. Kita lebih memilih duduk paling belakang, meski suara didepan sangat ramai tapi kita terus berbagi tak peduli dengan apapun yang sedang terjadi. Yang kita tahu, kita akan saling mengisi. Apapun. Baik kisah dimasa lalu, ataupun mimpi kita yang kita gantungkan pada doa. Semua mengalir begitu saja.

"Begitulah saudariku.." tatapan teduhmu, melodi indah suaramu saat itu, masih kuingat dengan jelas hingga saat ini. "Tak ada yang tak pantas, kecuali Allaah yang menentukan.." lafasmu mengayun pada dunia yang belum pernah kutemui sebelumnya. Bicara tentang hidayah sudah sering kudengar. Tema seimbangkan dunia akhirat bahkan diluar kepala. Meningkatkan ruh agar semakin dekat padaNya lahap kuhabiskan dari berbagai buku maupun manusia yang biasa kujumpai selain dirimu. Tapi, tema mimpi dan cita-cita hanya kutemukan padamu. Tentang tidak salah jika kita bermimpi tinggi bahkan lebih tinggi dari langit angkasa. Tak apa kita berdoa agar bisa menggapai mimpi bahkan ke luar pulau, luar kota, maupun luar negeri sekalipun. 
"Mudah bagi Allaah membuat kita terbang kemana-mana. Jika kita bisa mewarnai dunia dengan prestasi dan cita-cita, kenapa tidak?" kau menutup percakapan kita kali ini. Genangan air dipelupuk mataku jatuh. Aku memang tidak memiliki rasa percaya diri sebesar dirimu. Tapi lewat kisahmu, semoga aku bisa terus menulis seperti mimpiku dulu. 

Aku pamit pulang duluan. Seiring perjalanan kaki. Kukenang masa putih-biruku. Saat aku duduk kelas satu Sekolah Menengah Pertama di salah satu tempat mencari ilmu di kota Palembang. "Fitri.. Aku sudah menyelesaikannya.." aku menghampiri Fitri sahabatku saat itu. "Mana..?" tanyanya sambil mengadahkan tangan. Kuberi buku sidu putih, penuh dengan tinta biru oleh tanganku. Dia mulai membacanya. Kisah yang mungkin lebih tepat disebut cerita pendek. Kalau tidak salah kuingat tulisan itu berisi setengah dari buku sidu. Aku sudah mencintai dunia menulis dari dulu. Tulisan yang di baca Fitri, sudah rapi dengan tulisan tangan. Sebelumnya aku mencoret-coret, hingga kusatukan dan jadilah karya pertama. Aku lupa judulnya apa. Tapi masih ingat alur ceritanya bagaimana. Selepas kisah itu Fitri dan beberapa teman yang lain sering bertanya karya kedua, ketiga, dan seterusnya. Tidak hanya itu aku juga sering mengisi mading sekolah dengan puisi. Dengan nama pena 'ungu'. Ya, itu nama pena pertamaku. Hingga mimpi jadi penulis terbesit di otakku. Ah, tapi ada pertanyaan nakal mengganggu. Saking nakalnya ia mampu mengusik dipikiranku 'aku? Penulis? Layak-kah?'. Aku tersenyum getir mengingat masa itu. 

Hingga tiga tahun berlalu, memasuki Sekolah Menengah Keterampilan aku memposting tulisanku di facebook. Tulisan itu meski alay. Meski berantakan. Aku suka mempostingnya. Tak peduli pada apapun. Hingga kesibukan lain menyita waktu dan pikiranku. Hingga Allaah mempertemukan kita berdua. Sejak aku bertemu denganmu. Sejak kau memotivasi tulisanku dulu. Aku mulai membangun mimpi itu lagi. Mulai mau belajar menulis. Tapi ada satu yang tak bisa kukalahkan dari dulu. 'Layak-kah?' yah pertanyaan itu sering membunuh mimpi yang meski  kulawan berulang-ulang tetap saja aku kalah.

"Tak ada yang tidak pantas. Kecuali Allaah yang menentukan..". Untuk yang kesekian kalinya. Aku bersyukur bertemu denganmu. Aku berterimakasih Allaah sudi memperkenalkan orang sepertimu padaku. Jika kini pertanyaan nakal itu datang lagi, aku sudah bisa menjawabnya. 'Tak ada yang tidak pantas atau tak layak. Kecuali Allaah yang menentukan. Kecuali mau untuk memulai. Kecuali bermimpi dan berharap padaNya'.

Saudariku.. Semoga kau makin dekat dengan yang kau semogakan :).